Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Oktober 2011

Malaikat yang memilih neraka.

,
Karya : Hafiz Aji Aziz

Aku hanya terdiam melihat tubuh yang terbujur kaku di hadapan ku. Di lehernya melintang bekas jeratan tali yang mengantarkannya ke alam sana. Aku ingat dengan jelas pertanyaan terakhir yang diucapkan pada ku, "Aji, apa kamu bersedia masuk neraka sebagai pengorbanan bagi orang yang kamu sayangi?"
Saat itu aku masih tidak mengerti apa yang dia maksud. Tapi sekarang aku mengerti.

***

"Aku kan sudah mengatakan hal ini berkali-kali pada Ayah. Aku tidak mau jadi dokter. Jadi dokter itu impian Ayah, bukan impian ku. Jangan memaksakan impian ku, Ayah. Sudahlah, aku berangkat dulu." Kia langsung keluar mendatangi ku yang sudah menunggunya untuk berangkat ke kampus meninggalkan Ayah nya yang berteriak, "Kia, tunggu dulu. Ayah masih belum selesai."

***

"Harusnya kamu tidak bicara seperti itu pada Ayah mu, Ki. Dia itu sudah tua. Apa lagi jantung bermasalah." kata ku menasehatinya.
Dia tidak menjawab apa-apa dan hanya tersenyum sambil bertanya, "Aji, apa kamu bersedia masuk neraka sebagai pengorbanan bagi orang yang kamu sayangi?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku bisa merasakan nada kesedihan dalam pertanyaan itu. Aku tidak bisa menjawabnya. "Kasih sayang itu bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita duga."
Dia tersenyum mendengar kata-kata ku. Senyumnya terlihat sangat bebas. Aku tidak pernah melihat senyumnya seindah itu.

Saat perjalanan pulang dari kampus dia menyerahkan dua buah surat pada ku, "Surat yang ini untuk kamu. Tapi jangan langsung dibaca. Nanti kamu akan tahu kapan waktunya. Yang satu lagi buat dokter Andre. Kalau bisa, nanti malam kamu antar ke tempatnya. Dan satu lagi, lusa tolog datang ke sini ya."
Aku tidak berkata apa-apa dan hanya mengambil surat-surat itu.

***

Hari itu, sabtu. Aku datang ke rumah Kia. Aku terkejut melihat banyak orang berpakaian hitam tanda berkabung.
Apa mungkin Ayah Kia meninggal? Batin ku.
Tapi kemudian aku melihat Ayah Kia tampak lesu di atas kursi rodanya. Di belakangnya, Ibu Kia terlihat berdiri dengan wajah sembab.
Setitik kesadaran melintas di pikiran ku.
Kia.
Apa mungkin?
Aku segera masuk dan menemukan tubuh Kia yang terbujur kaku di ruang tengah dikelilingi para pelayat.

"Pak, kenapa Kia..." aku tidak sanggup melanjutkan pertanyaan ku. Untungnya dokter Andre ada di sana dan segera menjelaskan. "Kia bunuh diri."
Aku tersentak mendengarnya.
Dokter Andre melanjutkan, "Dia bunuh diri kemarin malam di rumah sakit saat Ayahnya sedang persiapan untuk operasi transplantasi jantung. Dia meninggal surat ini untuk orang tua nya." ujar dokter Andre seraya menyerahkan surat itu pada ku.

"Untuk Ayah dan Ibu tersayang.
Maaf, Kia tidak bisa memenuhi keinginan kalian.
Kia punya impian sendiri yang ingin Kia wujudkan. Tapi kalian terlalu memaksa.
Kia sudah lelah harus hidup dengan impian kalian
Karena itu, mungkin kematian Kia akan menyadarkan kalian bahwa kita punya impian masing-masing.
Sekarang Kia sudah bebas.
Selamat tinggal, Ayah, Ibu.
Kia selalu menyayangi kalian."

Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan saat membaca surat itu. Sesaat kemudian aku teringat dengan surat yang diberikannya pada ku.
Aku segera membuka surat itu,

"Untuk sahabat ku, Aji.
Saat kamu membaca ini, artinya aku sudah tidak lagi hidup.
Kamu jangan berpikir macam-macam.
Aku selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu.
Hidup dan mati itu keseimbangan.
Kematian ku berarti kehidupan bagi yang lain.
Aku harap kamu mengerti dan tidak dendam pada dia yang hidup dari kematian ku."

Aku langsung menyadari apa maksud surat itu. "Dok, siapa donor jantung Ayah Kia?" tanya ku pada dokter Andre.
Dokter Andre terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Kia. Dia adalah donor jantung untuk Ayah nya. Jantungnya adalah satu-satunya yang cocok untuk Ayah nya. Dia sudah berkonsultasi dengan saya beberapa kali. Kamu ingat surat darinya yang kamu serahkan pada saya? Isinya adalah bahwa dia akan jadi donor bagi Ayahnya dan dia minta saya untuk merahasiakan ini pada semua orang, kecuali kamu. Bahkan Ayahnya sekalipun tidak tahu bahwa jantung putrinya lah yang berdetak di tubuhnya saat ini. Saya masih ingat kata-kata terakhirnya dalam surat itu, 'Sekalipun harus masuk neraka, saya akan menyelamatkan ayah saya. Itu adalah sumpah saya. Jika dokter tidak mau membantu saya, akan saya cari orang yang mau membantu saya.' Bagi saya, Kia adalah malaikat yang rela masuk neraka demi orang yang disayanginya."

***

Di nisan itu tertulis namanya, Kiara Nirwana.
Mahkota surga.
Kia, apakah kamu di sana benar-benar di neraka? Karena bagi ku, pengorbanan mu pantas untuk membawamu ke surga. Pertanyaan mu saat itu, masih belum bisa ku jawab. Aku mungkin tidak sekuat kamu. Tapi aku berjanji tidak akan dendam pada Ayah mu.
Aku juga berjanji bahwa aku akan melindungi orang-orang yang aku sayangi.

Selengkapnya →

Minggu, 02 Oktober 2011

CERPEN PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

,
PUDARNYA PESONA CLEOPATRA


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu", ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab " tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. " Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. " Ma c.maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din cDinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!" sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar. "Te cterima kasih cDi cdinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. " Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan ubundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. " Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alas an kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mEsir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang mana?. " Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa terjadi?". " Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke MEdan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong c.Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi cternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba c c" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. " Raihana cistrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya". " Ada apa dengan dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya". Hatiku bergetar hebat. " Ke ckenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". " Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami".
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.
Dunia tiba-tiba gelap semua..
Karya : Habibur Rahman Elshirazy
Selengkapnya →

Sang Primadona

,

Sang Primadona

Cerpen A. Mustofa Bisri

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***
Selengkapnya →

Peradilan Rakyat

,

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***
Selengkapnya →

Sabtu, 24 September 2011

Diantara Dua Pink Love

,
By: aquarius333


Sesaat kutercengang melihat kecantikan gadis itu , nggak ngiri sich biasa aja cuman kenapa ya kok ada yang membuat ku kaya 
nya , dia sudah lama mengetahui aku , ah biarlah nggak mau mikir yang ngeres semoga dia emang mau maksud baik denganku ,apalagi 
kesopanan nya yang mungkin nggak dibuat buat . 

Diantara dua pink love

Siang itu mendadak showroom bajuku rame pengunjung
muda mudi banyak memilih pakaian santai dan buat acara nge death , senyumku melihat shoroom oxa butiq ku rame banget ,
ah senangnya ... kuliat swamiku yang biasanya kok mendadak cool
collor bak sang teuku Rian yang asyik berakting direktur perusahaan 
senyumku lagi melihat putri ketiga marisa zaphira  yang tumbuh sehat dan lucu , ah ... senangnya hatiku melihat putriku yang setegar batu saphire.
 siang mbak boss ...  penjualan hari ini lumayan lho.
' thanks ya ... yogi , semenjak ada kamu masuk ke showromku rame.' ah .. nggak juga , mbak boss nanti aku bisa donk dapetin bonus .'
 yaa ... semoga aja , semua tambah rame dan laris.
echa kemana mbak boss ... , tuh lagi main air dikolam belakang , tuch anak sawan entok kata omnya jadi suka banget maen air ampe mbuull mbull gitu hiik hiik....
 aah mbak boss bisa aja ... .
pembicaraanpun terhenti  saat ada pak haji fauzi dan keluarga datang masuk showroom oxa ku , waah asyik nich ... kalo maw borong baju buat pesta mungkin .' nok ciek ... maw ada pesta kawinan pak lurah nich , bisa pilihin buat keluarga ku nggak 
' hallo om.. . ayo silahkan pilih pilih mana yang cucok buat keluarga om.
' lho kamu kok disini , bukannya aku pernah liat kamu dai kaliwungu cafe 'eh yaa om , kok om ingat ... ya om haji yang nyanyi bareng sama aku too ... iya iQ , aku inget .

Kemudian dengan lennggak lenggok yogi riani  berlenggak lenggok 
menyanyikan lagu dangdut yang aku sedikit aku pernah denger gitu aja , ' kau yang mulai kau yang mengakhiri , kau yang berjanji kau yang mengingkari....' begitu syair lagu yang didendang  kan yogi riani 
 aku ketawa  mendengar dia menggaet customer lugu tapi ya aneh gitu , hik hik hik yoghi yoghi kamu maw jual baju pa ngamen ah ...
nggak pa pa lah... mungkin trik seperti itu bisa juga buat masukkan aku kalo mennggaet customer pun bisa agak katrok gitu yang penting
masih dalam kesopanan .... eeehm senyumku melihat tingkah gadis itu...

Sore itu biasa , kubikin kopi kesukaan suamiku dan cemilan yang ia sukai lumpia khas kampung , kududuk disebelah dia dan kemudian suamiku menjauh bergeser pindah dari sisiku ..
( ada sedikit nyeri direlung hatiku ... teriris ah udah ah gak mikirin 
mending bikin rilex aja, aku taw masih menyusui echa biasa kalo aku sok banget nanti ASIku nggak keluar )
' gimana nock ... ada yoghi showroom rame  kan ... .'
' iya mas rame orangnya supel dan lucu .

'kok kamu bisa kenal orang gitu an dari mana , aneeh gitu uan.kyanya berasal dari kampung nun jauh dimato.' ah mas ... biasa sukla ngejek , tahu tuch darimana kayanya orang sinian kok , cuman kata dia cuma lulusan SD,  dan katanya ibunya sudah meninggal , jadi dia harus banting tulang buat keluarganya .
 ah ... nock kamu sok sosial banget ndengerin curhat gituan.
'yaah mas ,.. emang nggak boleh  ,ga ada salahnya tooh , yang penting nggak ganggu keluarga ku gitu..

praaaak.... tiba tiba terdengar suara  orang bertengkar ditoko sebelah showroomku , kuberlari keluar .... mataku terbellalak melihat yoghi 
sedang jambak jambakan rambut sambil meludah... cuooh...
 pereeek lu... anjir lku deket aku cuma mau ngrebut vcowokku aja .
' eh ... ngaca tuh cowok lu duluan yang godain aku , pantatku yang di colek colek ..
' dasar gatel lu.. taw nggak sie ... kalo agus itu udah tunangan ma
aku. yeee biarin donk yaa ...kalo dia yang nyolek pantat aku .

Ais menangis memasuki toko dan yoghi berjalan pulang ke showroom kudengar dari kejauhaan kal yogi itu perek... ah udah ah diemin aja  belum ada bukti jadi yaaa liatin aja ' dari mana gi
' dari... sebelah mbak boss , biasa  tuch si ais caper biar bossnya jadi baek kan .'oh..... caper kok sampe nangiss gitu .
' yeee mbak boss kaya nggak tau orang masa kini aja , nangisnya kan biar diperhatiin gitu , soalnya tuh ais mau dikeluarin katanya  , boss sebelah mau narik yang lebih cantik .

' oh ... ku tercengang melihat perkataan yoghi .... kok keliatan dia bengis dan judes gituu ...kok keliatan jeleek and nggak cantik kaya biasanya , kok aku njadi teringat sura perempuan ini kok kaya yang menelpon suamiku di nomor  9000 nya .... ah hapuss hapuss  nggak usah diinget kalie aja keliru .

Tiga bulan berlalu tak pernah ku rasakan tentang sakit hatiku yang dikhianati  suamiku semasa hamil marisha dulu , kutitik kan air mata di pipiku kumenangis ... oh sudahlah biarlah pengkhianatan itu tak pernah kuinginkan  toh terjadi, cuman kuingat hp N gage kesukaan anakku Ricky yang berwarna pink keunguan meninggalkan kisah pedih di kehidupan ku ,saat itu kuteringat suamiku tony ... pergi meninnggalkan aku pas  berdekatan dengan hari ultahku  , ah sudahlah toh selama 8 tahun aku bersanding dengan Tony  dia tak pernah mengaggap ku sesuatu berarti di hatinya ,n gage pink itu mengingatkan ku sms cinta dengan cinta suamiku sri wahyuni  yang pernah kuliat dgn mataku dia pergi berboncengan di kendal , diatas motor tiger mereka berduaan dan memasuki hotel anugrah 
 kuhanya merunduk menangis sesaat kubuntuti dia dari kejauhan dari istri Ruslan , dia yang memberi tahu aku kalau suami dia juga tergilakan perrek amy yg sahabat yuni , kukira mbak menik istri ruslan itu boong an ternyata benar ....dan anehnya suamiku pulang malah menendang ku ... dan meludahi wajah ku  katanya eneeekh melihat ku ...oh Tuhanku...apa salah dosaku semoga nyawa bayiku itu selamat.

Suamiku masuk kekamar dan langsung menampar wajahku 
praaak .... ' kamu yaa.... yang ngomong ke  orang orang yoghi itu perek ke orang orang .
' bukan... aku nggak ngomong apa apa kok
buktinya tuuh yoghi nangis nangis ... kata dia kamu yang ngacow , eeh .... kamu itu mikir donk udah tua kok mitnah orang'
 mitnah ... sapa ... orang, dia ribut ma ais kok mas aku diem , cuman ngeliatin.
'halah kamu paling pinter muter balikan fakta ... 
' buat apa toh mas ...,lagian aku masih mikir kalo ada yoghi showroom oxa ku rame kok...
suamiku berlalu ... buat apa aku berbuat seperti itu , lagian nggak ada untungnya , mikirin perek dia yang suka merek tuch sapa ...ah udah ah aku mau mikir buat masa depan anakku aja , nggak mau mikr yang enggak ku lihat saat aku pernah ke kendal dulu dah lewat ku bersama endang kalo anak seorang yuni ditinggalkan  begitu saja dengan seorang nenek yang renta dukun bayi ... daffa namanya dan saat bersama suamiku ada seorang bayi lagi yang lahir pass bertepatan dengan ultah suamiku tony 30 november selisih 1 hari dengan ulang tahun suamiku 01 desember  dengan  mobil mithshubisshi GALLANT dia sering pergi meninggalkan aku ,boneka ranngga anak ruslan pun pernah diambill oleh yuni boneka marsupillami dan rannga yang sekecil itu menceritakan padaku , oh tuhan suamiku yang kucinta ternyata tergila gila seorang wanita , sakit... banget .... kenapa yaa suamiku dari aku hamil anakku ricky pun sudah terbiasa meninnggalkan aku saat hamil juga , sakit dan terus sakit dan mungkin itu yg membutakan mata hatiku aku pernah simpati aja sih sebenarnya dengan sahabat tp saat  dia pergi tinggalkan aku  dan menyakiti aku,dan dia tempat curhatku aja kok ... aku bukan tipe orang yang memaksakan untuk memiliki sesuatu kok.
siang ini kok yoghi rianti nggak keliatan ,dan hanya rendra,  ina, sintia 
dan hanum , showroom  rame sich .. ,Aktivitas meski hatiku sakit kualihkan kesibukkanku
 hallo tante ... hari ini cantik deeh ..
  gila kamu yoghi ...  kapan aku kawin ma om kamu ..
echa tuh mirip aku ya mbak boss ya .. liat tuch ,bibir dan lenggak lennggok nya .. kaya aku kan ,  atau jangan jangan ...
' ah ... kamu tuh aneh aneh aja jangan suka ngawur donk .
'yeeee  emang iyaa.....
ah nggak mauku dengerin omongan mu yang ngacow ... kaya gitu sambil berlalu kupergi tinggalkan dia , buat apa bikin pans toh suamiku tak pernah mencintai aku , lagian  aku udah lelah kalo bukan anak anak   sudah males  .                                   
 mbak boss punya tas pink nggak.......
 punya kenapa emang ghi... 
' pinjem ya ... buat kondangan...
 ya gak pa pa lah .....
' kamu suka warna pink  juga ghi ....
' oh yaa suka ... inget selalu dibeliin  mantan ku pink tapi keunguan gitu , bukan pink muda kaya mbak boss gini ....
'ya ... kalo aku suka pink dari dikasih ibuku dulu waktu sma , tapi pink 
kan lembut ... pa lagi ku  sudah ada bayi , echa nich suka banget..' yeee lembut ... kaya es kriiim... .

' lho ...lho ... kok  es kriiim , mirip banget no ma big boss mu .
' ehh ....sehati kaliee mbaak ....
aku terdiam mendengar ucapan yoghi .... sesaat mulut ku kaku .... 
 kutinggalkan yoghi dan pura pura smile aja ... nggak mau ribut 
bigbossku .... pake ilmu the drunken master ... ngerii ... nggak ada angin kadang kadang langsung aja streeengh ...

Malem kuterlelap kucium ketiga anak anak ku ... harum lucu 
polos banget ....  mendengar celoteh anak ku yang riang , dan gurauan mereka ... membuatku terhibur .
tapi tiba tiba dari arah pintu suamiku  menarik rambutku menjambak ku , menamparku ... 
' duduk kamu ...  dengerin ya kalo aku nggak pernah cocok sama 
kamu ... dan  aku mau kawi n lagi , tanda tangani nich kertas ..
besok angkat kaki dari rumah ku ini .:
  apa salah ku masss ..... 
' aku nggak pernah cinta sama kamu ... hatimu busuk kamu hatimu jelek ....
dan masih banyak makian  yan g kotor keluar dari mulut suamiku dan semuuuaaaa ........ 
 ter diam ku dissudut kamar kumenangiss sejadinya sesak nya dadaku 
 penatnya kepalaku .... kesedihamnku dan kadan ku muuuakk denaga kebodohan ku ketulian ku kebutaan mataku yang kualihkan tuk mmenutupiu sakit hatiku ..... Tuhan....  tangis air mataku kedukaaanku  ... adalah untukku ... untukku ... kuingat janji bunda ku di surga yang terlelap ... mungkin ini ... bundaku tak pernah  rela kalau aku telah membuta mencintai orang yang sama sekali tajk pernah mencintaiku dia cuman mersa keren aja kareana mungkin dulu dia taruhan ma temen  sekolahan ... ah  memang aku kuper , aku bodoh aku tuli aku buta tak kudengar ucapan bunda di peraduan terakhir.....

kuberlari kupeluk pusara ayah bundaku kumenangis sejadinya
 ayah bunda maaf kan kebutaanku  ketulianku kan nasehat orang tuaku , meski kutahu surgaku sudah dikaki suamiku untuk apa kupaksa hati yang tak mencintaiku dan untuk apa kupe luk kubersujud mhon maaf atas seuatu yang tak pantas kulakukan buat suamiku ... kucintakan suamiku ... tapi aku tak kan menghancurkan diriku dengan kesedihan ... kuingat kasih cinta paling tulus  adalah kedua orangtua ku , kumemang haus kasih syang tapi ku tak har ap suatu belas kasian ayah bunda tercinta doamu ketidak ikhlasanmu hari ini kutepati  ku berterimakasih kepada sang pencipta , kau daekatkan aku dalam kepedihan kumenagis tapi  kutahu hatiku bersyukur tlah hancur kerasnya hatiku karena cinta....


hujanpun turun ...... mengguyur ku kumenangis .... TUhan rengkuhlah aku 
 dalam pelukanmu kasih sayangmu adalah keabadian cinta mu yang succi ,   hari ini ku coba merangkak dan kuingin anak 2ku masa depan mereka agar tak seperti aku , tak nbodoh dan tak licik itu saja 
dan tiada dendam kuikhlaskan perkawinanku lepas demi ketiga anakku kurela besarkan  dengan mencintai dia penuh hati . tak ada sesal ... semua yang terjadi biarlah mengalir seperti air  apa adanya .
semoga hidupku  buah hatiku menjadi lebih baik .
 smile.... success. amieen.....
Selengkapnya →

Bukan Salahmu

,
By: Ratna Windiasari
Pelajar SMPN 1 Gondang
Tulungagung
Jawa Timur

Hujan gerimis di suatu senja. Keadaan yang indah untuk merenungkan kembali masa-masa yang telah aku lalui. Pahit ataupun manis rasanya itu adalah masa lalu. Aku tak mungkin bisa mengulangnya. Benar kata kakekku “yen getun iku mesti ana ing mburi” artinya penyesalan itu selalu dibelakang. Tak heran, karena setiap manusia tak ada yang sempurna.

perasaan hati

Tak sengaja lamunanku melayang ke wajah seseorang. Seseorang yang pernah mengisi hatiku. Dia, dia begitu mengesankan dalam hidupku. Karena, pada dia seoranglah aku berani menyatakan perasaanku. Perasaan yang mungkin sudah lama kupendam. Namun mengapa perasaan itu timbul lagi. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi dengannya? Atau mungkin hanya rasa kagumku kepadanya? Hanya hatikulah yang tahu semuanya.

Dulu kami memang sepasang kekasih yang sangat bahagia, namun karena sesuatu kami sepakat mengakhiri hubungan itu. Semua teman-teman sangat menyayangkan akan hal ini. Tapi aku tak tahu lagi harus bagaimana. Mana mungkin aku menjilat ludah yang telah ku keluarkan sendiri. Akhirnya dengan perasaan yang tak menentu kujalani semuanya.

Setahun kemudian aku duduk di kelas 9 SMP. Rasanya aku hampir lupa dengan masalahku setahun lalu. Aku dan dia sudah biasa lagi. Seperti tak ada kejadian yang pernah kita lalui setahun lalu. Canda dan tawa yang sempat hilang ditahun kedua aku duduk di SMP kini sudah mulai nampak lagi. Aku bahagia akan hal ini. Namun, semua itu luluh saat aku mendengar dia sedang dekat dengan anak kelas 7. Aku tak tahu mengapa aku begini. Padahal aku tak punya hak untuk marah jika dia dekat dengan seseorang. Sadarlah sekarang aku bukan siapa-siapa dia, aku hanya seorang mantan kekasih, tak lebih dari itu.

Merasa kuperhatikan gerak-geriknya suatu siang dia bertanya padaku, “Ada apa denganku? Ada yang salah ya?” tanyanya padaku seraya membenarkan dasi yang acak-acakan. Aku tak menjawab, tapi malah tersenyum memandangnya. Dia mengerutkan dahinya dan berlalu meninggalkan aku. Aku tak tahu lagi harus bilang apa ke dia. Mau marah dia bukan apa-apaku. 

Bukan Salahmu

Mau senang, percuma karena pasti akan menyakiti perasaanku juga. Dan hanya diamlah satu-satunya cara yang bisa kulakukan saat berpapasan dengannya. Andai dulu aku tak berkhianat padanya pasti sekarang kita berdua sudah bersama. Jalani hidup dengan penuh kebahagiaan, dan menyongsong masa Ujian Akhir Nasional dengan perasaan tenang. Hanya satu orang yang pantas disalahkan dalam hal ini. Dan orang itu adalah aku. Bukan kamu.   

Selengkapnya →

Times Promise3

,
“Ken, kamu baik banget ke aku dua bulan ini.” Katanya lembut. Kini Marie memberanikan diri meletakkan kepalanya yang indah di bahu Kenny. Kenny risih untuk kali pertama, namun dia senang.
“aku baik buat kamu, karena kamu udah berusaha bikin aku buka pikiran.” Jelas Kenny.
“Ken, aku ga mau pulang ke Bandung lagi...”Marie mengatakan hal itu dengan sedikit bergetar.
“tapi kamu harus. Kan kamu kangen ama orang tua kamu.” Bujuk Kenny
“biarin! Mereka aja yang datang ke karawang, aku udah seneng disini.” Marie masih ngeyel dan tetap dengan keinginannya, untuk tinggal di Karawang. Kenny larut dalam keheningan sesaat. Membiarkan burung-burung yang ber­migrasi melambai pada dirinya dan gadis di sebelahnya.
“Marie, kamu mau engga jadi pacar aku?” kata-kata ajaib itu melesat begitu saja dari bibir Kenny, menuju syaraf-syaraf otak Marie. membuat Marie berdebar keras.
“mau.” Mereka membiarkan waktu yang telah memberikan mereka banyak kesempatan bersama, berjalan lambat. Membuat mereka akan terus mengingat saat ini.
Marie memasuki rumah tantenya. Kawasan perumahan Resinda sepi saat itu. Setelah memasuki pintu depan, dia melihat ayahnya yang sedang duduk sambil meminum secangkir Latte. Ayahnya menyadari kehadiran Marie, dan berjalan ke arahnya.
“ayah, ibu mana?”tanya Marie polos.
“ayah...ayah pisah sama ibu kamu. Ayah cerai.” jawab ayahnya.
“ayah...pisah?” ulang Marie tak percaya.
“iya, ayah pisah sama ibu kamu, sayang.” Yakin ayahnya.
“kalo Marie mau ketemu ibu gimana, Ya? kenapa ngedadak, sih? Ayah bohong ama Marie, katanya ngurusin kerjaan, tapi ko...”Marie berhenti. Untuk seusianya, dia terlalu banyak tahu persoalan rumah tangga. Ibu dan ayahnya terlalu sering menggunakan kata cerai dalam percekcokan mereka. Marie pernah menanyakan kata cerai tersebut kepada gurunya di Bandung sebelum pindah ke Karawang. Juga pernah bertanya pada ibunya. Dan ia jadi tahu satu hal. Kata cerai sudah terjadi dalam kehidupannya.
Kini dia berlari ke kamarnya. Membuka pintu dan membantingnya sekuat yang ia mampu. Menumpahkan rasa kesalnya yang semakin mengental. Dia membuka handphone-nya. Wajahnya dan Kenny yang manis menjadi wallpaper telepon genggamnya. Dia memburu barisan contact list, mencari nama Kenny dalam daftar itu. Ia tekan tombol penghubung, namun telepon genggam Kenny sedang tidak aktif.
Tubuh dan pikiran mungilnya tak mungkin sanggup menerima hal sebesar ini. Namun nyatanya, sekarang ia sudah menyadari bahwa ini bukan kesalahan kedua orang tuanya. Ini mungkin kesepakatan ibu dan ayahnya, yang mau tak mau harus ia ikuti. Dia tak mau membuat keduanya makin sedih sekarang. Biarlah dirinya berpura-pura untuk tegar sesaat.

Marie bangkit, menyeka air matanya. Ia meyeret tubuhnya meninggalkan ruangan itu, perlahan menyusuri tangga. Menuruninya dengan langkah yang perlahan, satu tangga, dua tangga, hingga tepat di belakang ayahnya. Ayahnya, yang juga tertunduk, bergetar tak kuasa menahan semuanya. Ia baru melihat ayahnya, yang ia puja sebagai pohon beringin yang kokoh dan kuat, harus tumbang. Harus ia hibur.

“ayah...” suara merdu itu membangunkan ayahnya, mengangkat kepala ayahnya yang tertunduk. Ayahnya bangkit dan menyesuaikan untuk berdiri di depan Marie. mata ayahnya yang bening merah terinjak air mata yang memaksa keluar dari bendungan matanya. Wajahnya merana. “ayah jangan nangis, Yah...” bujuk Marie.

“kamu juga, sayang. Jangan marah sama ayah, ya...ayah udah ga bisa sama ibu kamu yang terlalu menekan ayah.” Jelasnya.

“walaupun marie engga ngerti, tapi engga apa-apa, Yah. Marie engga mau ayah sedih.” Senyum Marie mengembang, membuat ayahnya memeluk erat sang anak dengan penuh rasa bersalah.

“maafin ayah, Marie...Maafin ayah...”isakan ayahnya membuat Marie, mau tak mau larut dalam kesedihan. Mereka berdua butuh waktu untuk mengeluarkan kesedihan mereka tanpa gangguan. Dan berharap semuanya tidak menjadi lebih buruk.

Burung hantu beruhu-uhu menemani malam Marie yang aneh. Seperti perasaannya. Yang tak akan pernah sama semenjak saat itu. Yang tak akan pernah lagi merasakan kecupan hangat ibu, dekapan sayang ibu, belaian sang bidadari hidupnya.

Ayahnya masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah ayahnya yang sekarang sedikit berseri membuat Marie tenang.dia memperbaiki posisi duduknya di kasur empuknya.

Tembok peach terang itu serasi dengan segala benda berbahan kayu yang tertata rapi. Setiap sudut terdapat pot ramping berbunga mulai dari lily, ornamen sakura, dan dandelion.

Ayahnya duduk di samping putri tercinta. Berharap permintaannya kali ini akan dipenuhi buah hatinya yang cerdas dan penurut.

“Marie, ayah boleh minta tolong ga?” pinta ayahnya kini.

“boleh, Yah. Apapun buat ayah seneng aku lakuin.” Senyumnya membuat sang ayah merasa sedikit keterlaluan untuk meminta hal ini.

“ayah...rekan kerja ayah punya anak seumuran kamu, laki-laki. Dia suka sama kamu. Teman kamu dulu, Arighilan. Ayah... mau kamu deket sama dia...” trhenti sejenak. Sang Ayah tahu anaknya akan bertanya.

“kenapa harus, Yah?” tanya Marie gusar. Ia sudah jadi milik Kenny sekarang. Tak mungkin untuk memboongi keduanya, Kenny maupun Arighilan.

“maafin ayah, ayah ga bisa apa-apa...dia pingin anaknya dijodohkan dengan kamu. Kalau tidak, usaha ayah terancam...”

“bangkrut?” Marie berhasil menemukan titik akhir klimat ayahnya. “bener gitu, Yah?” tanyanya lagi.

“iya.” Hanya itu yang dapat Ayahnya katakan. Dan tertunduk, begitu lemah dirinya terhadap segala persoalan yang ia pikul sendiri. Saatnya Marie berbagi suka dan duka ayahnya. Tapi bagaimana ia harus katakan pada Kenny?

“aku ngerti, yah...” Marie memeluk ayahnya.

Saat istirahat bagi anak-anak kelas 5 SD Sirnabaya 3. Handphone Marie bergetar sedari tadi. Tenyata layar menampilkan huruf-huruf yang terangkai menjadi sebuah nama, Arighilan. Marie menerima teleponnya.

“halo?” suara di seberang sana terdengar jelas. dan tak salah lagi, itu memang suara Arighilan.

“ya, halo.” Balas Marie sekenanya.

“kamu ke pintu gerbang dulu, dong.” Pinta Arighilan dari seberang sana.

“yaudah, aku kesana.” Ditutuplah pembicaraan tersebut. Marie melihat sekitarnya, tak ada Kenny. Jangan sampai Knny tahu dulu kalau ada anak laki-laki lain yang juga menyukainya. Masalah ayahnya pun akan ia ceritakan, namun nanti saja, saat Arighilan sudah pulang.

Marie sudah tidak asing dengan wajah itu, wajah tampan dan necis milik Arighilan Raofax Maul, yang sekarang berdiri bersandar pada mobil Jaguar merah miliknya. Pakaian mewah bermerek pun membalut tubuhnya yang berkulit putih bersih. Berbeda dengan Kenny yang memiliki kulit sawo matang, dan berpenampilan sederhana.

“hai... udah lama ga ketemu, kamu tambah cantik.” Gombal Arighilan. Senyumannya memang memikat, namun itu tidak berarti Marie akan terpesona.

“makasih, Lan.” Mari tersenyum, terpaksa. Untuk menyenangkan Arighilan. “kapan kamu dateng?” tanyanya kemudian.

“tadi pagi. Aku di telepon ayah kamu. Katanya kamu kangen sama aku. Ya udah, aku ke sini.” Jelasnya semangat. Dia sangat menyukai Marie sejak kelas satu Sekolah Dasar. “Marie, kamu suka aku ga sih?” tanyanya tiba-tiba.

“...”

“aku udah suka kamu dari dulu, Marie Santiago.” Jelasnya. “tapi kamu ga pernah ngerespon, kamu malu bilangnya, ya? malu karena kamu juga suka aku kan?” Arighilan begitu percaya diri menanyakan semua hal yang mustahil Marie rasakan itu.

“kamu mau kan jadi pacar aku?” Marie kaget. Matanya terbelalak, tak percaya. Begitu cepat Arighilan mengutarakan semuanya. Memintanya menjadi kekasihnya. Marie tahu Arighilan memang menyukainya, tapi kenapa begitu cepat, pikirnya.

“aku...mau.” kata Marie pelan. Hatinya sakit. Harus berbohong pada semua orang kini. Terutama pada Kenny. Kepolosan Arighilan membuatnya berani untuk mengecup pipi Marie. Wajah Marrie memerah malu.

“kamu mau jadi pacar dia, ya?” suara datar itu menembus hati Marie. dia yakin kemarahan Kenny akan menerkamnya.

“Kenny...aku...”

“udah lah, aku denger dari kalian awal ketemu tadi. Kamu Cuma cewe gampangan. Aku kira kamu ga gampang suka sama orang. Eh, malah kamu mau jadi pacar orang juga.” Kenny sekarang melirik tajam ke arah Arighilan, anak laki-laki necis saingannya. Dan kembali memandang Marie.

“pantes sih, dia orang kaya tampan pula. Terserah kamu deh sekarang. Lagian cewe gampangan bukan tipe aku.” Marie meneteskan air matanya. Yang kni air mata itu mulai meledak menembus dinding itu lagi, tumpah, deras. Ternyata penderitaannya masih tak cukup.pernyataan Kenny barusan membuat Marie hancur. Namun Marie tak bisa menyalahkan Kenny. Ini pasti terjadi. Sudah menjadi bayaran yang akan Marie bayar untuk pengorbanan pada ayahnya.

“Marie memang ga pantes buat lu! Lu Cuma cowo kampungan yang ga tau diri. Udah ga tau diri pilih-pilih lagi!” bentak Arighilan.

“oh ya?”tantang Kenny.

“ya! Dan masih mending Marie mau nerima lu jadi cowonya. Beruntung untuk dapet sedikit pengkuan kecil Marie.” sengit anak laki-laki necis yang kini telah berdiri di sampir Marie. Marie masih trdiam, dan air matanya terus mengalir.

“yaudah. Marie, kita putus. Gua memang ga pantes buat lu. Gua harap lu seneng ama dia.” Marie baru pertama kali menerima kata panggilan lu dan gua dari Kenny. Kenny berbalik dan berjalan perlahan, menjauhi Marie.

Marie berlari menuju kelas, tanpa berkata apapun saat melewati Kenny yang melangkah perlahan. Menyambar tasnya dan kembali berlari menuju Arighilan.

“ayo kita pulang, Lan.”

Sore itu, Bel berteriak memanggil penghuni salah satu rumah di kawasan Resinda . Marie membuka pintu, Shimon sudah di hadapannya setelah pintu terbuka. Masih dengan seragam SMP lengkap, Shimon melangkah masuk rumah tante Marie.

Marie menceritakan semuanya, kepada kakak Kenny itu. Shimon tidak mengerti, anak perempuan, seusia Marie melakukan sesuatu yang mungkin dirinya pun tak sanggup. Tapi Shimon telah bersumpah tak akan mengatakannya, sedikit pun pada Kenny.

∞∞∞

Kenny sangat kecewa dengan Marie. Hatinya hancur saat mengingat kejadian tadi. Ia membuka tas-nya. Terdapat sebuah kotak mungil dark chocolate berpita bright gold tertidur di tasnya, tertindih beberapa buku. Dibukanya. kalung manik-manik yang dibuat sekenanya, talinya terbuat dari benang wool yang biasa digunakan untuk merajut, dan memiliki bandul tengkorak kecil berwarna hitam.

Ia membantingnya ke lantai, hingga bunyi tengkorak hitam itu melengking. Ia memungutnya kembali, dan memakainya. Ia tahu Marie bukan orang seperti itu. Seharusnya ia tanyakan dulu alasannya. Dia memang bodoh. Dia menangis, menggenggam kotak pemberian Marie.

Esoknya Marie tidak masuk sekolah. Tadinya, ingin dia meminta maaf. Namun ternyata waktu telah memilih melerai mereka disini.

“anak-anak, teman kalian Marie hari ini sudah pndah sekolah. Dia kembali lagi ke Bandung.” Kata bu guru kepada semua anak. Seisi kelas riuh dengan berbagai ­“Aaah”dan keluhan.

∞∞∞

“hai, nama saya Marie Sentago. Saya dari SMA 17 Bandung. Seneng bisa kenal sama kalian.” Seorang gadis manis memperkenalkan dirinya di tahun ajaran baru SMAN 1 Karawang. Semua siswa laki-laki bersuit-suit . Namun hanya satu orang yang tidak terlihat tertarik. Dia duduk di ujung dari tempat gadis itu berdiri. Rasanya seperti De javu.

“baiklah, Marie. silahkan duduk dengan KM di sana.” Tunjuk sang guru ke arah siswa laki-lakiyang tidak antusias terhadap diri anak pindahan cantik itu. Marie melangkah bahagia ke arah teman sebangkunya, yang belum ia kenal. Ia begitu bahagia, tak tahu kenapa walaupun ia belum kenal.

“hai, nama aku Marie. Nama kamu siapa?” tanya Marie di selah-selah pelajaran.

“Kenny. Kenny Daezhalto Porta. Marie? kayaknya familiar...” jawab siswa laki-laki itu, sekenanya. Seperti biasa, nadanya datar. Persis kakeknya orang tuanya bilang.

“ iya, kayak yang familiar.”

“sekian pelajaran kali ini, kapan kita ketemu lagi?” perempuan paruh baya yang rapuh itu, bertanya kepada seluruh siswa, yang sedari tadi sibuk menggoreskan batangan berwarna hitam diatas lembaran kertas.

“Rabu, Bu....” jawab mereka serempak, tanpa perlu dipandu lambaian tangan seorang musisi.

“ya sudah, sampai ketemu lagi.” Ia berjalan, menyeret tubuh besarnya yang penuh kerutan. Guru senior itu telah melangkah di luar pintu kelas, saat bel melengking berteriak merobek telinga insan-insan yang berperut kosong.

“Ken, ke kantin yuk!” ajak Marie.

“apa yang bikin kamu yakin kalo aku mau ikut?” tanyanya singkat. Masih datar seperti biasa. Kenny tak yakin kenapa ia bisa bersikap tak layak, padahal sebagai orang yang ceria dan hangat saat di sekolah, dia tak mungkin mengeluarkan sifat buruknya itu. ia hanya melakukan apa yang ia rasa saat ini. Rasanya ia kenal, dan pernah disakiti. Tapi sifat itu memang ada dalam dirinya sejak dulu. Tapi sekarang telah terkikis, karena lingkungannya yang hangat. Dirinya bingung, kenapa harus kembali lagi sifat itu. kepada seorang gadis cantik khususnya.

“karena rasanya kita saling kenal.” Jawabnya. Marie tersenyum manis. Wajahnya berseri, membuat sifat itu sekarang sedikit terkikis lagi. Wajah mereka bertemu pandang. Sejenak mereka merasakan kehangatan, yang mereka rasa seperti sepasang insan yang lama berpisah.

“ya udah, ayo.” Kenny mengiyakan ajakan Marie. Marie senang sekali. Ia langsung menyambar lengan Kenny, dan menggandengnya. Berjalan dengan nyaman. Walaupun aneh, sensasinya begitu nyaman.

Mereka sampai di kantin. Kantin begitu riuh dan ramai. Berbagai chit-chat di sana-sini bertebaran. Berbagai teriakan pun melengking membentur telinga-telinga yang dipadati berbagai suara, mulai dari teriakan memanggil teman, memesan makanan, hingga menjahili temannya yang sedang asik bersama pasangan.

Kenny menghampiri kios kecil yang memilikilemari pendingin, lalu mengambil satu buah Ultra Milk coklat dan satu buah Ultra Milk Strawberry. Untuk rasa Strawberry ia berikan pada Marie.

“nih. Aku bayarin.” Katanya pada Marie, yang tengah mengambil pemberian Kenny.

“makasih, kamu baik banget. Tapi kok kamu bisa tahu aku mau beli ini? padahal aku belum bilang.” Tanya Marie  heran.

“engga tau, Just my feeling.” Jawab Kenny. Yang sekarang melangkah bersama Marie, mencari tempat agar mereka dapat duduk bersama.

Kenny Deranjaro Porta dan Marie Santiago. Kedua nama tersebut merupakan dua nama dari banyak korban aksi bom bunuh diri di Mal Karawang tahun 2011 silam. Sesudah kejadian, masing-masing keluarga membawa korban ke rumah sakit yang berbeda. Kenny, korban pria dibawa ke Rumah Sakit Bayukarta Karawang. Sedangkan Marie, korban wanita di bawa ke Rumah Sakit Cito Karawang.

Dua korban tersebut yang ternyata masih menginjak bangku SMA, mengalami kehilangan ingatan total. Mengetahui hal tersebut orang tua Marie membawanya pindah kembali ke Bandung agar Marie dapat mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Dua insan yang seharusnya kembali dalam ikatan harmoni tersebut tidak beremu lagi sejak saat itu. jiwa-jiwa mereka mengalami kelaparan batin yang sangat hebat. Rindu akan seseorang yang tak diingatnya. Hingga kehidupan mereka tidak lebih bahagia dan memiliki tujuan seperti sebelumnya.


Selama berpuluh-puluh tahun hidup dalam kelaparan batin yang tidak terpenuhi, mereka tiada dengan mewariskan wajah, kelaparan batin, kepada cucu mereka, walau mereka tak akan menyadari bahwa jiwa mereka akan mengulangi masa. Masa dimana waktu akan menepati janjinya, menyatukan kedua jiwa tersebut dalam ikatan yang harmoni kembali.
Selengkapnya →