Selain setiap manusia memilikinya, setiap hari rambut manusia juga akan mengalami kerontokan, meski hanya beberapa helai.
Rambut manusia, kata Milan, dapat dimanfaatkan sebagai pengganti silikon, yang komponennya hampir sama digunakan pada panel solar.
Artinya, panel solar pun bisa dibuat dengan biaya rendah bagi mereka yang memiliki sambungan listrik.
Melanin, yaitu pigmen yang memberikan warna pada rambut, ternyata sangat sensitif terhadap cahaya. Ia juga bisa berfungsi sebagai konduktor.
Selain itu, rambut manusia juga jauh ’lebih murah’’ daripada silikon, sehingga biaya pembuatannya dapat ditekan. Solar panel ini juga bisa untuk mengisi baterai ponsel maupun penyedia listrik sepanjang malam.
Solar panel hasil kreasinya mampu menghasilkan energi sebesar 9 Volt (18 Watt). Biaya pembuatannya hanya sekitar Rp 380.000, jika diproduksi secara perorangan.
’’Biaya pembuatan menjadi murah apabila diproduksi secara massal, misalnya untuk satu kampung atau satu desa. Harganya bisa mencapai hanya separo, atau bahkan seperempatnya,’’ jelasnya.
Desa Terpencil Percobaan Milan Karki memang terkait dengan kondisi kelistrikan di negaranya, Nepal, termasuk juga di kampungnya, sebuah desa terpencil.
Banyak wilayah pedesaan di Nepal yang belum terjangkau sambungan listrik. Meski di beberapa tempat sudah diterangi listrik, pemakaiannya juga dibatasi rata-rata 16 jam per hari.
Dari pengalaman itulah, Milan dibantu empat temannya melakukan eksperimen dengan membuat panel solar.
Semula, hasil percobaan Milan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di rumahnya. Maklum, ia tinggal bersama keluarganya di sebuah desa terpencil yang juga belum terjamah aliran listrik.
’’Kemudian saya berpikir, bukankah rumah-rumah di desa kami juga belum memperoleh listrik? Sekarang saya pun berubah pikiran, bahwa energi alternatif dari rambut ini harus bisa diaplikasikan oleh penduduk di seluruh dunia,’’ kata Milan, yang kini bersekolah di Kathmandu.
Milan mulai tertarik dengan elektronika sejak masih kanak-kanak. Saat itu dia masih bermukim di Khotang, sebuah wilayah pedalaman di Nepal, yang sama sekali belum tersentuh sambungan listrik.
Tidak heran ketika ia berhasil menemukan panel solar, hanya dari rambut manusia, masyarakat Khotang pun berduyun-duyun meminta bantuannya. ’’Padahal, semula mereka tak percaya bahwa rambut manusia bisa menghasilkan listrik,’’ kenangnya. (Dela SY-32)
Rambut manusia, kata Milan, dapat dimanfaatkan sebagai pengganti silikon, yang komponennya hampir sama digunakan pada panel solar.
Artinya, panel solar pun bisa dibuat dengan biaya rendah bagi mereka yang memiliki sambungan listrik.
Melanin, yaitu pigmen yang memberikan warna pada rambut, ternyata sangat sensitif terhadap cahaya. Ia juga bisa berfungsi sebagai konduktor.
Selain itu, rambut manusia juga jauh ’lebih murah’’ daripada silikon, sehingga biaya pembuatannya dapat ditekan. Solar panel ini juga bisa untuk mengisi baterai ponsel maupun penyedia listrik sepanjang malam.
Solar panel hasil kreasinya mampu menghasilkan energi sebesar 9 Volt (18 Watt). Biaya pembuatannya hanya sekitar Rp 380.000, jika diproduksi secara perorangan.
’’Biaya pembuatan menjadi murah apabila diproduksi secara massal, misalnya untuk satu kampung atau satu desa. Harganya bisa mencapai hanya separo, atau bahkan seperempatnya,’’ jelasnya.
Desa Terpencil Percobaan Milan Karki memang terkait dengan kondisi kelistrikan di negaranya, Nepal, termasuk juga di kampungnya, sebuah desa terpencil.
Banyak wilayah pedesaan di Nepal yang belum terjangkau sambungan listrik. Meski di beberapa tempat sudah diterangi listrik, pemakaiannya juga dibatasi rata-rata 16 jam per hari.
Dari pengalaman itulah, Milan dibantu empat temannya melakukan eksperimen dengan membuat panel solar.
Semula, hasil percobaan Milan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di rumahnya. Maklum, ia tinggal bersama keluarganya di sebuah desa terpencil yang juga belum terjamah aliran listrik.
’’Kemudian saya berpikir, bukankah rumah-rumah di desa kami juga belum memperoleh listrik? Sekarang saya pun berubah pikiran, bahwa energi alternatif dari rambut ini harus bisa diaplikasikan oleh penduduk di seluruh dunia,’’ kata Milan, yang kini bersekolah di Kathmandu.
Milan mulai tertarik dengan elektronika sejak masih kanak-kanak. Saat itu dia masih bermukim di Khotang, sebuah wilayah pedalaman di Nepal, yang sama sekali belum tersentuh sambungan listrik.
Tidak heran ketika ia berhasil menemukan panel solar, hanya dari rambut manusia, masyarakat Khotang pun berduyun-duyun meminta bantuannya. ’’Padahal, semula mereka tak percaya bahwa rambut manusia bisa menghasilkan listrik,’’ kenangnya. (Dela SY-32)