Sabtu, 11 Juni 2011

Energi Alternatif Ramah Lingkungan "Biofuel" Cocok untuk Indonesia

,
MASALAH energi alternatif saat ini sedang menjadi perbincangan yang ramai di masyarakat. Krisis bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah menggugah masyarakat bahwa Indonesia sangat bergantung pada minyak bumi. Gaikindo International Conference 2005 yang diselenggarakan bersamaan dengan Gaikindo Auto Expo 2005 sengaja dilaksanakan untuk mencari solusi energi alternatif yang sesuai untuk Indonesia.

Pabrikan mobil dunia sudah belajar dari krisis minyak bumi tahun 1974 dengan mengembangkan teknologi mesin canggih yang mampu menggantikan mesin konvensional. Tinggal permasalahannya Indonesia mau pilih alternatif yang mana.

Dilihat dari luas daratan serta tanahnya yang relatif subur, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan bahan bakar dari tumbuhan atau biofuel. Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, yang menjadi salah satu pembicara dalam acara ini mengatakan, biofuel merupakan energi alternatif yang cocok dengan Indonesia.

"Energi alternatif biofuel yang dapat diperbarui dapat memperkuat ketersediaan bahan bakar. Selain itu biofuel juga ramah lingkungan sehingga bisa meningkatkan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia, " katanya.

Karenanya untuk mengembangkan bahan bakar tipe ini perlu kerja sama yang harmonis dari semua pihak, termasuk pemerintah, industri otomotif dan swasta. Ada dua macam jenis biofuel yang bisa dikembangkan yaitu, ethanol dan biodiesel.

Ethanol berasal dari alkohol yang strukturnya sama dengan bir atau minuman anggur. Untuk membuat alkohol dilakukan melalui proses fermentasi dari bahan baku tumbuhan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti ketela pohon. Ethanol dipergunakan untuk menggerakkan mesin berbahan bakar bensin.

Khusus untuk mesin diesel, bisa mempergunakan bahan bakar jenis biodiesel. Diproduksi dari dari senyawa kimia bernama alkyl esters yang bisa diperoleh dari lemak nabati. Bahan esters ini memiliki komposisi yang sama dengan bahan bakar diesel solar, bahkan lebih baik nilai cetane-nya dibandingkan solar.

Sebagai bahan bakar cair, biodiesel sangat mudah digunakan dan dapat langsung dimasukkan ke dalam mesin diesel tanpa perlu memodifikasi mesin. Selain itu, dapat dicampur dengan solar untuk menghasilkan campuran biodiesel yang ber-cetane lebih tinggi. Menggunakan biodiesel dapat menjadi solusi bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar solar sebesar 39,7%. Biodiesel pun sudah terbukti ramah lingkungan karena tidak mengandung sulfur.

Penelitian tentang bahan bakar alternatif sudah dilakukan di banyak negara, seperti Austria, Jerman, Prancis, dan AS. Negara ini mengembangkan teknologi biodiesel dengan memanfaatkan tanaman yang berbeda-beda. Negara Jerman memakai minyak dari tumbuhan rapeseed, AS menggunakan tanaman kedelai, sedangkan untuk Indonesia tanaman yang paling potensial adalah kelapa sawit.

Sejumlah penelitian telah dilakukan oleh lembaga dan institusi pendidikan di Indonesia, yaitu Lemigas, PPKS Medan, ITB, LIPI dan BPPT. Kebanyakan dari lembaga ini menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit, jathropa curcas dan sebagainya.

BPPT memiliki pabrik yang bisa memproduksi sekira 1.500 liter/sehari di Puspitek Serpong. Produk ini sudah dijual ke berbagai perusahaan pemakai biodiesel dan juga dipakai untuk menggerakkan bus operasional BPPT.

Saat ini sedang dikembangkan pabrik baru berkapasitas 8 ton/hari yang dibiayai oleh Balitbang Propinsi Riau. Desain dan konstruksi pabrik ini sudah selesai pada tahun 2004, namun belum berproduksi menunggu izin operasinya.

Berdasarkan pola pengembangan energi nasional, pemerintah sebenarnya sudah merencanakan penggunaan bioethanol dan biodiesel sekira 2% dari jumlah bahan bakar nasional pada tahun 2010. Selanjutnya meningkat menjadi 5% pada 2025. Sekarang masalahnya tinggal bagaimana mempopulerkan bahan bakar biofuel ini.

Hasil penelitian BPPT ini merupakan jawaban atas tantangan penemuan teknologi energi alternatif dalam mengatasi krisis energi nasional. "Hanya, kehadiran sumber energi alternatif baru ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah serta instrumen agar kebijakan itu terealisasi," ujar Kusmayanto.

Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan energi alternatif, tentu masyarakat akan menanggapinya secara positif, apalagi bila harganya murah dan terjangkau. Selain itu kalangan pengusaha pun tentu akan melihat hal itu sebagai ceruk pasar yang potensial.

Menurut Kusmayanto, pemerintah perlu juga memberikan insentif bagi pihak swasta yang mau membangun pabrik biodiesel atau bioethanol, misalnya dengan memberikan insentif fiskal, insentif perizinan atau bahkan insentif dalam hal perpajakannya.

Di beberapa negara lain, untuk mendukung pemakaian biodiesel dan bioethanol, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan pemberian insentif. Pemerintah Austria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel , sehingga pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif. Bahkan di Swedia, harga bioethanol BE-85 (85% ethanol dan 15% bensin) dipatok lebih murah 25% daripada bahan bakar konvensional.

Indonesia sendiri bisa belajar dari Brasil yang secara serius mengembangkan teknologi bahan bakar biofuel. Bahkan pabrikan mobil pun sangat antusias untuk mengembangkan teknologi pendukungnya. Contohnya Toyota mulai mengalihkan perhatiannya pada pasar mobil berbahan bakar bensin gasohol untuk Brasil.

Tanaman tebu

Selain masuk ke pasar Brasil, kendaraan berbahan bakar alternatif ini dikabarkan bakal dipasarkan di Amerika Tengah dan Selatan. Jika rencana itu berjalan mulus, kendaraan ramah lingkungan tersebut paling cepat baru dirilis pada pertengahan tahun 2006.

Sebelumnya pabrikan mobil Ford selama lebih dari 14 tahun telah memproduksi satu juta unit kendaraan berbahan bakar ethanol mulai dari jenis E20 hingga E85. "Brasil adalah negara yang serius mengembangkan industri ethanol dari tebu. Tentunya kami tidak mau ketinggalan dari pabrikan lain di sana," kata Ashok Goyal. Direktur Ford Hiroshima yang berbasis di Jepang.

Di Brasil mobil yang ditenagai bensin dan alkohol tersebut lebih akrab disebut mobil flex fuel engine. Sebenarnya teknologi flex fuel bukanlah hal yang baru, sebab di Amerika Serikat pada 1980-an telah diperkenalkan mesin dengan tenaga metanol atau alkohol yang dibuat dari bahan beras dan jagung.

Tercatat produksi etanol Brasil pada 1996 mencapai 14,5 miliar liter (sekira 46% total produksi etanol global). Sedangkan produksi etanol di AS mencapai 7,6 miliar liter. Tetapi hanya Brasil yang mencatatkan diri sebagai negara pertama yang mengembangkan secara serius bahan bakar alkohol yang berasal dari gula tebu. Alasannya, di negara tersebut banyak perkebunan tebu yang hasilnya cukup melimpah.

Pemerintah Brasil memiliki program bernama Alkohol Nasional (the National Alcohol Program) yang salah satu hasil inovasinya adalah teknologi otomotif yang berhasil diluncurkan, yaitu mobil yang dijalankan dengan tenaga bensin dan alkohol yang terbuat dari gula tebu.

Gasohol, bahan bakar alternatif

Krisis bahan bakar yang sejak lama telah diprediksi membuat sejumlah peneliti girang. Pasalnya, dengan kondisi seperti ini mereka mendapatkan pengakuan atas hasil penelitiannya yang bertahun-tahun mereka kembangkan. Hal itu terlihat pada stan-stan energi alternatif seperti stan Universitas Trisakti yang mengembangkan minyak jelantah pengganti solar dan juga stan Balai Besar Teknologi Industri Pati (B2TP) BPPT yang mengembangkan Gasohol BE-10 untuk bahan bakar bensin.

Di stan BPPT tersebut sebuah jip Landrover Discovery putih yang disandingkan dengan Mercedes A-140 silver bertuliskan Fuel Cell dikerubuti para pengunjung Gaikindo Auto Expo 2005. Mereka terheran-heran saat mengetahui bahwa jip berbodi bongsor itu menggunakan bahan bakar dari singkong.

"Singkong memang bisa menggantikan bahan bakar minyak bensin. Ini bisa dipakai sebagai energi alternatif," kata Dr. Ir. M. Arief Yudiarto, Kabid Etanol & Derivatif B2TP BPPT saat ditemui di stannya sebelum pembukaan Gaikindo.

Menurut Arief, sebagai salah satu negara agraris, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi alternatif yang sangat besar. Seperti gasohol yang terus dikaji B2TP di Lampung sejak 1983 lalu sebagai bahan bakar cair alternatif. Gasohol merupakan bahan bakar campuran antara bensin (gasoline) dan bioetanol (ethanol) fuel grade atau alkohol dengan kadar sekira 99.5%.

Sebagai salah satu bahan bakar alternatif, gasohol dengan porsi bioetanol hingga 20 persen bisa langsung digunakan pada mesin otomotif berbahan bakar bensin tanpa menimbulkan masalah teknis dan sangat ramah lingkungan. Kadar karbonmonoksida (CO) dari hasil uji pada rpm 2.500, untuk gasohol 20 % tercatat 0,76 % gas CO, sedangkan premium mencapai angka 3,66 % dan Pertamax 2,85 %.

Dari tes penggunaan gasohol pada sebuah mobil jenis minibus yang dihidupkan dengan kecepatan 80 km pada rpm 4.700, B2TP mencatat beberapa poin penting dari penggunaan gasohol. Konsumsi bahan bakar (gram/jam) dengan menggunakan gasohol 20 persen angkanya mencapai 23,25 gr/jam, sedangkan pada premium mencapai 23 gr/jam, dan Pertamax 20,57 gr/jam.

Di Indonesia hingga saat ini masih belum ada pabrik yang memproduksi bioetanol fuel grade meski kebutuhannya diperkirakan akan meningkat. Sedangkan produksi etanol Indonesia saat ini mencapai 2 juta liter per tahun untuk keperluan industri minuman serta farmasi dan sebagian lagi diekspor ke sejumlah negara. B2TP sampai saat ini masih mengandalkan pilot plant yang memiliki kapasitas 8.000 liter/hari dengan kualitas technical grade.(ovi/doe)***

0 komentar to “Energi Alternatif Ramah Lingkungan "Biofuel" Cocok untuk Indonesia”

Posting Komentar