Pelajar SMPN 1 Gondang
Tulungagung
Jawa Timur
Hujan gerimis di suatu senja. Keadaan yang indah untuk merenungkan kembali masa-masa yang telah aku lalui. Pahit ataupun manis rasanya itu adalah masa lalu. Aku tak mungkin bisa mengulangnya. Benar kata kakekku “yen getun iku mesti ana ing mburi” artinya penyesalan itu selalu dibelakang. Tak heran, karena setiap manusia tak ada yang sempurna.
Tak sengaja lamunanku melayang ke wajah seseorang. Seseorang yang pernah mengisi hatiku. Dia, dia begitu mengesankan dalam hidupku. Karena, pada dia seoranglah aku berani menyatakan perasaanku. Perasaan yang mungkin sudah lama kupendam. Namun mengapa perasaan itu timbul lagi. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi dengannya? Atau mungkin hanya rasa kagumku kepadanya? Hanya hatikulah yang tahu semuanya.
Dulu kami memang sepasang kekasih yang sangat bahagia, namun karena sesuatu kami sepakat mengakhiri hubungan itu. Semua teman-teman sangat menyayangkan akan hal ini. Tapi aku tak tahu lagi harus bagaimana. Mana mungkin aku menjilat ludah yang telah ku keluarkan sendiri. Akhirnya dengan perasaan yang tak menentu kujalani semuanya.
Setahun kemudian aku duduk di kelas 9 SMP. Rasanya aku hampir lupa dengan masalahku setahun lalu. Aku dan dia sudah biasa lagi. Seperti tak ada kejadian yang pernah kita lalui setahun lalu. Canda dan tawa yang sempat hilang ditahun kedua aku duduk di SMP kini sudah mulai nampak lagi. Aku bahagia akan hal ini. Namun, semua itu luluh saat aku mendengar dia sedang dekat dengan anak kelas 7. Aku tak tahu mengapa aku begini. Padahal aku tak punya hak untuk marah jika dia dekat dengan seseorang. Sadarlah sekarang aku bukan siapa-siapa dia, aku hanya seorang mantan kekasih, tak lebih dari itu.
Merasa kuperhatikan gerak-geriknya suatu siang dia bertanya padaku, “Ada apa denganku? Ada yang salah ya?” tanyanya padaku seraya membenarkan dasi yang acak-acakan. Aku tak menjawab, tapi malah tersenyum memandangnya. Dia mengerutkan dahinya dan berlalu meninggalkan aku. Aku tak tahu lagi harus bilang apa ke dia. Mau marah dia bukan apa-apaku.
Mau senang, percuma karena pasti akan menyakiti perasaanku juga. Dan hanya diamlah satu-satunya cara yang bisa kulakukan saat berpapasan dengannya. Andai dulu aku tak berkhianat padanya pasti sekarang kita berdua sudah bersama. Jalani hidup dengan penuh kebahagiaan, dan menyongsong masa Ujian Akhir Nasional dengan perasaan tenang. Hanya satu orang yang pantas disalahkan dalam hal ini. Dan orang itu adalah aku. Bukan kamu.