“aku baik buat kamu, karena kamu udah berusaha bikin aku buka pikiran.” Jelas Kenny.
“Ken, aku ga mau pulang ke Bandung lagi...”Marie mengatakan hal itu dengan sedikit bergetar.
“tapi kamu harus. Kan kamu kangen ama orang tua kamu.” Bujuk Kenny
“biarin! Mereka aja yang datang ke karawang, aku udah seneng disini.” Marie masih ngeyel dan tetap dengan keinginannya, untuk tinggal di Karawang. Kenny larut dalam keheningan sesaat. Membiarkan burung-burung yang bermigrasi melambai pada dirinya dan gadis di sebelahnya.
“Marie, kamu mau engga jadi pacar aku?” kata-kata ajaib itu melesat begitu saja dari bibir Kenny, menuju syaraf-syaraf otak Marie. membuat Marie berdebar keras.
“mau.” Mereka membiarkan waktu yang telah memberikan mereka banyak kesempatan bersama, berjalan lambat. Membuat mereka akan terus mengingat saat ini.
Marie memasuki rumah tantenya. Kawasan perumahan Resinda sepi saat itu. Setelah memasuki pintu depan, dia melihat ayahnya yang sedang duduk sambil meminum secangkir Latte. Ayahnya menyadari kehadiran Marie, dan berjalan ke arahnya.
“ayah, ibu mana?”tanya Marie polos.
“ayah...ayah pisah sama ibu kamu. Ayah cerai.” jawab ayahnya.
“ayah...pisah?” ulang Marie tak percaya.
“iya, ayah pisah sama ibu kamu, sayang.” Yakin ayahnya.
“kalo Marie mau ketemu ibu gimana, Ya? kenapa ngedadak, sih? Ayah bohong ama Marie, katanya ngurusin kerjaan, tapi ko...”Marie berhenti. Untuk seusianya, dia terlalu banyak tahu persoalan rumah tangga. Ibu dan ayahnya terlalu sering menggunakan kata cerai dalam percekcokan mereka. Marie pernah menanyakan kata cerai tersebut kepada gurunya di Bandung sebelum pindah ke Karawang. Juga pernah bertanya pada ibunya. Dan ia jadi tahu satu hal. Kata cerai sudah terjadi dalam kehidupannya.
Kini dia berlari ke kamarnya. Membuka pintu dan membantingnya sekuat yang ia mampu. Menumpahkan rasa kesalnya yang semakin mengental. Dia membuka handphone-nya. Wajahnya dan Kenny yang manis menjadi wallpaper telepon genggamnya. Dia memburu barisan contact list, mencari nama Kenny dalam daftar itu. Ia tekan tombol penghubung, namun telepon genggam Kenny sedang tidak aktif.
Tubuh dan pikiran mungilnya tak mungkin sanggup menerima hal sebesar ini. Namun nyatanya, sekarang ia sudah menyadari bahwa ini bukan kesalahan kedua orang tuanya. Ini mungkin kesepakatan ibu dan ayahnya, yang mau tak mau harus ia ikuti. Dia tak mau membuat keduanya makin sedih sekarang. Biarlah dirinya berpura-pura untuk tegar sesaat.
Marie bangkit, menyeka air matanya. Ia meyeret tubuhnya meninggalkan ruangan itu, perlahan menyusuri tangga. Menuruninya dengan langkah yang perlahan, satu tangga, dua tangga, hingga tepat di belakang ayahnya. Ayahnya, yang juga tertunduk, bergetar tak kuasa menahan semuanya. Ia baru melihat ayahnya, yang ia puja sebagai pohon beringin yang kokoh dan kuat, harus tumbang. Harus ia hibur.
“ayah...” suara merdu itu membangunkan ayahnya, mengangkat kepala ayahnya yang tertunduk. Ayahnya bangkit dan menyesuaikan untuk berdiri di depan Marie. mata ayahnya yang bening merah terinjak air mata yang memaksa keluar dari bendungan matanya. Wajahnya merana. “ayah jangan nangis, Yah...” bujuk Marie.
“kamu juga, sayang. Jangan marah sama ayah, ya...ayah udah ga bisa sama ibu kamu yang terlalu menekan ayah.” Jelasnya.
“walaupun marie engga ngerti, tapi engga apa-apa, Yah. Marie engga mau ayah sedih.” Senyum Marie mengembang, membuat ayahnya memeluk erat sang anak dengan penuh rasa bersalah.
“maafin ayah, Marie...Maafin ayah...”isakan ayahnya membuat Marie, mau tak mau larut dalam kesedihan. Mereka berdua butuh waktu untuk mengeluarkan kesedihan mereka tanpa gangguan. Dan berharap semuanya tidak menjadi lebih buruk.
Burung hantu beruhu-uhu menemani malam Marie yang aneh. Seperti perasaannya. Yang tak akan pernah sama semenjak saat itu. Yang tak akan pernah lagi merasakan kecupan hangat ibu, dekapan sayang ibu, belaian sang bidadari hidupnya.
Ayahnya masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah ayahnya yang sekarang sedikit berseri membuat Marie tenang.dia memperbaiki posisi duduknya di kasur empuknya.
Tembok peach terang itu serasi dengan segala benda berbahan kayu yang tertata rapi. Setiap sudut terdapat pot ramping berbunga mulai dari lily, ornamen sakura, dan dandelion.
Ayahnya duduk di samping putri tercinta. Berharap permintaannya kali ini akan dipenuhi buah hatinya yang cerdas dan penurut.
“Marie, ayah boleh minta tolong ga?” pinta ayahnya kini.
“boleh, Yah. Apapun buat ayah seneng aku lakuin.” Senyumnya membuat sang ayah merasa sedikit keterlaluan untuk meminta hal ini.
“ayah...rekan kerja ayah punya anak seumuran kamu, laki-laki. Dia suka sama kamu. Teman kamu dulu, Arighilan. Ayah... mau kamu deket sama dia...” trhenti sejenak. Sang Ayah tahu anaknya akan bertanya.
“kenapa harus, Yah?” tanya Marie gusar. Ia sudah jadi milik Kenny sekarang. Tak mungkin untuk memboongi keduanya, Kenny maupun Arighilan.
“maafin ayah, ayah ga bisa apa-apa...dia pingin anaknya dijodohkan dengan kamu. Kalau tidak, usaha ayah terancam...”
“bangkrut?” Marie berhasil menemukan titik akhir klimat ayahnya. “bener gitu, Yah?” tanyanya lagi.
“iya.” Hanya itu yang dapat Ayahnya katakan. Dan tertunduk, begitu lemah dirinya terhadap segala persoalan yang ia pikul sendiri. Saatnya Marie berbagi suka dan duka ayahnya. Tapi bagaimana ia harus katakan pada Kenny?
“aku ngerti, yah...” Marie memeluk ayahnya.
Saat istirahat bagi anak-anak kelas 5 SD Sirnabaya 3. Handphone Marie bergetar sedari tadi. Tenyata layar menampilkan huruf-huruf yang terangkai menjadi sebuah nama, Arighilan. Marie menerima teleponnya.
“halo?” suara di seberang sana terdengar jelas. dan tak salah lagi, itu memang suara Arighilan.
“ya, halo.” Balas Marie sekenanya.
“kamu ke pintu gerbang dulu, dong.” Pinta Arighilan dari seberang sana.
“yaudah, aku kesana.” Ditutuplah pembicaraan tersebut. Marie melihat sekitarnya, tak ada Kenny. Jangan sampai Knny tahu dulu kalau ada anak laki-laki lain yang juga menyukainya. Masalah ayahnya pun akan ia ceritakan, namun nanti saja, saat Arighilan sudah pulang.
Marie sudah tidak asing dengan wajah itu, wajah tampan dan necis milik Arighilan Raofax Maul, yang sekarang berdiri bersandar pada mobil Jaguar merah miliknya. Pakaian mewah bermerek pun membalut tubuhnya yang berkulit putih bersih. Berbeda dengan Kenny yang memiliki kulit sawo matang, dan berpenampilan sederhana.
“hai... udah lama ga ketemu, kamu tambah cantik.” Gombal Arighilan. Senyumannya memang memikat, namun itu tidak berarti Marie akan terpesona.
“makasih, Lan.” Mari tersenyum, terpaksa. Untuk menyenangkan Arighilan. “kapan kamu dateng?” tanyanya kemudian.
“tadi pagi. Aku di telepon ayah kamu. Katanya kamu kangen sama aku. Ya udah, aku ke sini.” Jelasnya semangat. Dia sangat menyukai Marie sejak kelas satu Sekolah Dasar. “Marie, kamu suka aku ga sih?” tanyanya tiba-tiba.
“...”
“aku udah suka kamu dari dulu, Marie Santiago.” Jelasnya. “tapi kamu ga pernah ngerespon, kamu malu bilangnya, ya? malu karena kamu juga suka aku kan?” Arighilan begitu percaya diri menanyakan semua hal yang mustahil Marie rasakan itu.
“kamu mau kan jadi pacar aku?” Marie kaget. Matanya terbelalak, tak percaya. Begitu cepat Arighilan mengutarakan semuanya. Memintanya menjadi kekasihnya. Marie tahu Arighilan memang menyukainya, tapi kenapa begitu cepat, pikirnya.
“aku...mau.” kata Marie pelan. Hatinya sakit. Harus berbohong pada semua orang kini. Terutama pada Kenny. Kepolosan Arighilan membuatnya berani untuk mengecup pipi Marie. Wajah Marrie memerah malu.
“kamu mau jadi pacar dia, ya?” suara datar itu menembus hati Marie. dia yakin kemarahan Kenny akan menerkamnya.
“Kenny...aku...”
“udah lah, aku denger dari kalian awal ketemu tadi. Kamu Cuma cewe gampangan. Aku kira kamu ga gampang suka sama orang. Eh, malah kamu mau jadi pacar orang juga.” Kenny sekarang melirik tajam ke arah Arighilan, anak laki-laki necis saingannya. Dan kembali memandang Marie.
“pantes sih, dia orang kaya tampan pula. Terserah kamu deh sekarang. Lagian cewe gampangan bukan tipe aku.” Marie meneteskan air matanya. Yang kni air mata itu mulai meledak menembus dinding itu lagi, tumpah, deras. Ternyata penderitaannya masih tak cukup.pernyataan Kenny barusan membuat Marie hancur. Namun Marie tak bisa menyalahkan Kenny. Ini pasti terjadi. Sudah menjadi bayaran yang akan Marie bayar untuk pengorbanan pada ayahnya.
“Marie memang ga pantes buat lu! Lu Cuma cowo kampungan yang ga tau diri. Udah ga tau diri pilih-pilih lagi!” bentak Arighilan.
“oh ya?”tantang Kenny.
“ya! Dan masih mending Marie mau nerima lu jadi cowonya. Beruntung untuk dapet sedikit pengkuan kecil Marie.” sengit anak laki-laki necis yang kini telah berdiri di sampir Marie. Marie masih trdiam, dan air matanya terus mengalir.
“yaudah. Marie, kita putus. Gua memang ga pantes buat lu. Gua harap lu seneng ama dia.” Marie baru pertama kali menerima kata panggilan lu dan gua dari Kenny. Kenny berbalik dan berjalan perlahan, menjauhi Marie.
Marie berlari menuju kelas, tanpa berkata apapun saat melewati Kenny yang melangkah perlahan. Menyambar tasnya dan kembali berlari menuju Arighilan.
“ayo kita pulang, Lan.”
Sore itu, Bel berteriak memanggil penghuni salah satu rumah di kawasan Resinda . Marie membuka pintu, Shimon sudah di hadapannya setelah pintu terbuka. Masih dengan seragam SMP lengkap, Shimon melangkah masuk rumah tante Marie.
Marie menceritakan semuanya, kepada kakak Kenny itu. Shimon tidak mengerti, anak perempuan, seusia Marie melakukan sesuatu yang mungkin dirinya pun tak sanggup. Tapi Shimon telah bersumpah tak akan mengatakannya, sedikit pun pada Kenny.
∞∞∞
Kenny sangat kecewa dengan Marie. Hatinya hancur saat mengingat kejadian tadi. Ia membuka tas-nya. Terdapat sebuah kotak mungil dark chocolate berpita bright gold tertidur di tasnya, tertindih beberapa buku. Dibukanya. kalung manik-manik yang dibuat sekenanya, talinya terbuat dari benang wool yang biasa digunakan untuk merajut, dan memiliki bandul tengkorak kecil berwarna hitam.
Ia membantingnya ke lantai, hingga bunyi tengkorak hitam itu melengking. Ia memungutnya kembali, dan memakainya. Ia tahu Marie bukan orang seperti itu. Seharusnya ia tanyakan dulu alasannya. Dia memang bodoh. Dia menangis, menggenggam kotak pemberian Marie.
Esoknya Marie tidak masuk sekolah. Tadinya, ingin dia meminta maaf. Namun ternyata waktu telah memilih melerai mereka disini.
“anak-anak, teman kalian Marie hari ini sudah pndah sekolah. Dia kembali lagi ke Bandung.” Kata bu guru kepada semua anak. Seisi kelas riuh dengan berbagai “Aaah”dan keluhan.
∞∞∞
“hai, nama saya Marie Sentago. Saya dari SMA 17 Bandung. Seneng bisa kenal sama kalian.” Seorang gadis manis memperkenalkan dirinya di tahun ajaran baru SMAN 1 Karawang. Semua siswa laki-laki bersuit-suit . Namun hanya satu orang yang tidak terlihat tertarik. Dia duduk di ujung dari tempat gadis itu berdiri. Rasanya seperti De javu.
“baiklah, Marie. silahkan duduk dengan KM di sana.” Tunjuk sang guru ke arah siswa laki-lakiyang tidak antusias terhadap diri anak pindahan cantik itu. Marie melangkah bahagia ke arah teman sebangkunya, yang belum ia kenal. Ia begitu bahagia, tak tahu kenapa walaupun ia belum kenal.
“hai, nama aku Marie. Nama kamu siapa?” tanya Marie di selah-selah pelajaran.
“Kenny. Kenny Daezhalto Porta. Marie? kayaknya familiar...” jawab siswa laki-laki itu, sekenanya. Seperti biasa, nadanya datar. Persis kakeknya orang tuanya bilang.
“ iya, kayak yang familiar.”
“sekian pelajaran kali ini, kapan kita ketemu lagi?” perempuan paruh baya yang rapuh itu, bertanya kepada seluruh siswa, yang sedari tadi sibuk menggoreskan batangan berwarna hitam diatas lembaran kertas.
“Rabu, Bu....” jawab mereka serempak, tanpa perlu dipandu lambaian tangan seorang musisi.
“ya sudah, sampai ketemu lagi.” Ia berjalan, menyeret tubuh besarnya yang penuh kerutan. Guru senior itu telah melangkah di luar pintu kelas, saat bel melengking berteriak merobek telinga insan-insan yang berperut kosong.
“Ken, ke kantin yuk!” ajak Marie.
“apa yang bikin kamu yakin kalo aku mau ikut?” tanyanya singkat. Masih datar seperti biasa. Kenny tak yakin kenapa ia bisa bersikap tak layak, padahal sebagai orang yang ceria dan hangat saat di sekolah, dia tak mungkin mengeluarkan sifat buruknya itu. ia hanya melakukan apa yang ia rasa saat ini. Rasanya ia kenal, dan pernah disakiti. Tapi sifat itu memang ada dalam dirinya sejak dulu. Tapi sekarang telah terkikis, karena lingkungannya yang hangat. Dirinya bingung, kenapa harus kembali lagi sifat itu. kepada seorang gadis cantik khususnya.
“karena rasanya kita saling kenal.” Jawabnya. Marie tersenyum manis. Wajahnya berseri, membuat sifat itu sekarang sedikit terkikis lagi. Wajah mereka bertemu pandang. Sejenak mereka merasakan kehangatan, yang mereka rasa seperti sepasang insan yang lama berpisah.
“ya udah, ayo.” Kenny mengiyakan ajakan Marie. Marie senang sekali. Ia langsung menyambar lengan Kenny, dan menggandengnya. Berjalan dengan nyaman. Walaupun aneh, sensasinya begitu nyaman.
Mereka sampai di kantin. Kantin begitu riuh dan ramai. Berbagai chit-chat di sana-sini bertebaran. Berbagai teriakan pun melengking membentur telinga-telinga yang dipadati berbagai suara, mulai dari teriakan memanggil teman, memesan makanan, hingga menjahili temannya yang sedang asik bersama pasangan.
Kenny menghampiri kios kecil yang memilikilemari pendingin, lalu mengambil satu buah Ultra Milk coklat dan satu buah Ultra Milk Strawberry. Untuk rasa Strawberry ia berikan pada Marie.
“nih. Aku bayarin.” Katanya pada Marie, yang tengah mengambil pemberian Kenny.
“makasih, kamu baik banget. Tapi kok kamu bisa tahu aku mau beli ini? padahal aku belum bilang.” Tanya Marie heran.
“engga tau, Just my feeling.” Jawab Kenny. Yang sekarang melangkah bersama Marie, mencari tempat agar mereka dapat duduk bersama.
Kenny Deranjaro Porta dan Marie Santiago. Kedua nama tersebut merupakan dua nama dari banyak korban aksi bom bunuh diri di Mal Karawang tahun 2011 silam. Sesudah kejadian, masing-masing keluarga membawa korban ke rumah sakit yang berbeda. Kenny, korban pria dibawa ke Rumah Sakit Bayukarta Karawang. Sedangkan Marie, korban wanita di bawa ke Rumah Sakit Cito Karawang.
Dua korban tersebut yang ternyata masih menginjak bangku SMA, mengalami kehilangan ingatan total. Mengetahui hal tersebut orang tua Marie membawanya pindah kembali ke Bandung agar Marie dapat mendapatkan perawatan yang lebih baik.
Dua insan yang seharusnya kembali dalam ikatan harmoni tersebut tidak beremu lagi sejak saat itu. jiwa-jiwa mereka mengalami kelaparan batin yang sangat hebat. Rindu akan seseorang yang tak diingatnya. Hingga kehidupan mereka tidak lebih bahagia dan memiliki tujuan seperti sebelumnya.
Selama berpuluh-puluh tahun hidup dalam kelaparan batin yang tidak terpenuhi, mereka tiada dengan mewariskan wajah, kelaparan batin, kepada cucu mereka, walau mereka tak akan menyadari bahwa jiwa mereka akan mengulangi masa. Masa dimana waktu akan menepati janjinya, menyatukan kedua jiwa tersebut dalam ikatan yang harmoni kembali.