Sabtu, 15 Oktober 2011

Malaikat yang memilih neraka.

,
Karya : Hafiz Aji Aziz

Aku hanya terdiam melihat tubuh yang terbujur kaku di hadapan ku. Di lehernya melintang bekas jeratan tali yang mengantarkannya ke alam sana. Aku ingat dengan jelas pertanyaan terakhir yang diucapkan pada ku, "Aji, apa kamu bersedia masuk neraka sebagai pengorbanan bagi orang yang kamu sayangi?"
Saat itu aku masih tidak mengerti apa yang dia maksud. Tapi sekarang aku mengerti.

***

"Aku kan sudah mengatakan hal ini berkali-kali pada Ayah. Aku tidak mau jadi dokter. Jadi dokter itu impian Ayah, bukan impian ku. Jangan memaksakan impian ku, Ayah. Sudahlah, aku berangkat dulu." Kia langsung keluar mendatangi ku yang sudah menunggunya untuk berangkat ke kampus meninggalkan Ayah nya yang berteriak, "Kia, tunggu dulu. Ayah masih belum selesai."

***

"Harusnya kamu tidak bicara seperti itu pada Ayah mu, Ki. Dia itu sudah tua. Apa lagi jantung bermasalah." kata ku menasehatinya.
Dia tidak menjawab apa-apa dan hanya tersenyum sambil bertanya, "Aji, apa kamu bersedia masuk neraka sebagai pengorbanan bagi orang yang kamu sayangi?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku bisa merasakan nada kesedihan dalam pertanyaan itu. Aku tidak bisa menjawabnya. "Kasih sayang itu bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita duga."
Dia tersenyum mendengar kata-kata ku. Senyumnya terlihat sangat bebas. Aku tidak pernah melihat senyumnya seindah itu.

Saat perjalanan pulang dari kampus dia menyerahkan dua buah surat pada ku, "Surat yang ini untuk kamu. Tapi jangan langsung dibaca. Nanti kamu akan tahu kapan waktunya. Yang satu lagi buat dokter Andre. Kalau bisa, nanti malam kamu antar ke tempatnya. Dan satu lagi, lusa tolog datang ke sini ya."
Aku tidak berkata apa-apa dan hanya mengambil surat-surat itu.

***

Hari itu, sabtu. Aku datang ke rumah Kia. Aku terkejut melihat banyak orang berpakaian hitam tanda berkabung.
Apa mungkin Ayah Kia meninggal? Batin ku.
Tapi kemudian aku melihat Ayah Kia tampak lesu di atas kursi rodanya. Di belakangnya, Ibu Kia terlihat berdiri dengan wajah sembab.
Setitik kesadaran melintas di pikiran ku.
Kia.
Apa mungkin?
Aku segera masuk dan menemukan tubuh Kia yang terbujur kaku di ruang tengah dikelilingi para pelayat.

"Pak, kenapa Kia..." aku tidak sanggup melanjutkan pertanyaan ku. Untungnya dokter Andre ada di sana dan segera menjelaskan. "Kia bunuh diri."
Aku tersentak mendengarnya.
Dokter Andre melanjutkan, "Dia bunuh diri kemarin malam di rumah sakit saat Ayahnya sedang persiapan untuk operasi transplantasi jantung. Dia meninggal surat ini untuk orang tua nya." ujar dokter Andre seraya menyerahkan surat itu pada ku.

"Untuk Ayah dan Ibu tersayang.
Maaf, Kia tidak bisa memenuhi keinginan kalian.
Kia punya impian sendiri yang ingin Kia wujudkan. Tapi kalian terlalu memaksa.
Kia sudah lelah harus hidup dengan impian kalian
Karena itu, mungkin kematian Kia akan menyadarkan kalian bahwa kita punya impian masing-masing.
Sekarang Kia sudah bebas.
Selamat tinggal, Ayah, Ibu.
Kia selalu menyayangi kalian."

Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan saat membaca surat itu. Sesaat kemudian aku teringat dengan surat yang diberikannya pada ku.
Aku segera membuka surat itu,

"Untuk sahabat ku, Aji.
Saat kamu membaca ini, artinya aku sudah tidak lagi hidup.
Kamu jangan berpikir macam-macam.
Aku selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu.
Hidup dan mati itu keseimbangan.
Kematian ku berarti kehidupan bagi yang lain.
Aku harap kamu mengerti dan tidak dendam pada dia yang hidup dari kematian ku."

Aku langsung menyadari apa maksud surat itu. "Dok, siapa donor jantung Ayah Kia?" tanya ku pada dokter Andre.
Dokter Andre terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Kia. Dia adalah donor jantung untuk Ayah nya. Jantungnya adalah satu-satunya yang cocok untuk Ayah nya. Dia sudah berkonsultasi dengan saya beberapa kali. Kamu ingat surat darinya yang kamu serahkan pada saya? Isinya adalah bahwa dia akan jadi donor bagi Ayahnya dan dia minta saya untuk merahasiakan ini pada semua orang, kecuali kamu. Bahkan Ayahnya sekalipun tidak tahu bahwa jantung putrinya lah yang berdetak di tubuhnya saat ini. Saya masih ingat kata-kata terakhirnya dalam surat itu, 'Sekalipun harus masuk neraka, saya akan menyelamatkan ayah saya. Itu adalah sumpah saya. Jika dokter tidak mau membantu saya, akan saya cari orang yang mau membantu saya.' Bagi saya, Kia adalah malaikat yang rela masuk neraka demi orang yang disayanginya."

***

Di nisan itu tertulis namanya, Kiara Nirwana.
Mahkota surga.
Kia, apakah kamu di sana benar-benar di neraka? Karena bagi ku, pengorbanan mu pantas untuk membawamu ke surga. Pertanyaan mu saat itu, masih belum bisa ku jawab. Aku mungkin tidak sekuat kamu. Tapi aku berjanji tidak akan dendam pada Ayah mu.
Aku juga berjanji bahwa aku akan melindungi orang-orang yang aku sayangi.

0 komentar to “Malaikat yang memilih neraka.”

Posting Komentar