Minggu, 27 Februari 2011

KEKERINGAN

,

Tiga bulan lalu semestinya musim hujan sudah tiba. Alih-alih hujan turun, cuaca menjadi bertambah panas dari hari ke hari.. Saluran irigasi semakin menyusut airnya, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Giman yang tidak memiliki sawah seluas petani-petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air. Saat ini, air menjadi barang mewah bagi para petani Desa Brojol. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba. Namun, justru kecemasan yang datang melanda. Akankah ia gagal panen untuk ketiga kalinya tahun ini?. Tidak, itu sangat menyakitkan bagi seorang petani, apalagi petani miskin seperti Giman.
Dari kejauhan terlihat Mbah Simo sibuk mengatur aliran air di saluran irigasi. “Saya minta bagian air sedikit, Mbah!. Sudah dua hari sawah saya kering!”. Spontan Giman berteriak melihat sosok Mbah Simo. “Biar penuh dulu sawahku. Memangnya sawahmu saja yang kering!”. Lelaki tua itu terlihat gusar.  “Lebih baik segera bayar hutang berasmu yang kemarin. Tahun kemarin hutangmu sudah ku anggap lunas karena aku kasihan sama anakmu yang mau masuk sekolah. Tapi, sekarang jangan enak-enakkan. Kau harus bayar, mengerti!”, lanjut Mbah Simo dengan nada kesal.  “Bagaimana saya bisa bayar, Mbah, kalau saya tidak bisa panen gara-gara sawah saya kekeringan?”, sahut Giman tak kalah kesal.
“Lho…yo ojo nyolot, Kowe!. Sawahku itu luas. Kalau kekeringan, aku ruginya juga besar. Tidak bisa dibandingkan dengan sawahmu sing sak iprit kuwi”. Giman segera sadar. Ia harus menahan diri. Ia tidak ingin terlibat masalah dengan Mbah Simo. Bisa-bisa, bunga hutangnya dinaikkan dua kali lipat. Sawah Mbah Simo memang berhektar-hektar. Ia tahu, tidaklah cukup mengalirkan air seharian untuk memenuhi sawah-sawah Mbah Simo. Ia harus bersabar sebentar untuk mendapatkan air.
Dari balik gubuknya, Giman melihat Mbah Simo mulai menjauhi saluran irigasi. Ia segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju saluran irigasi setelah memastikan bahwa Mbah Simo benar-benar pergi. Giman beraksi, ia menyumbat aliran air yang menuju sawah Mbah Simo, kemudian ia mengalirkan air ke sawahnya. Ah, akhirnya dapat air juga, batinnya. Sudah dua hari sawahnya tak teraliri air. Keadaan ini akan bertahan setidaknya hingga sore tiba. Karena, pada sore hari biasanya Mbah simo akan mengecek ulang aliran irigasinya.
“Pakde, Pakde!. Cepat ke sawah, Pakde. Sawah Mbah Simo dibakar orang!”. Mitro datang tergopoh-gopoh menghampiri Giman yang sedang mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk kayu bakar. “Apa??!. Oalah opo maneh iki?”. Sontak Giman berlari menuju sawah yang tak jauh dari tempat ia mencari ranting kering menyusul Mitro yang telah menghilang di balik pepohonan.  Giman terkejut bukan kepalang. Puluhan orang berkumpul mengelilingi sawah Mbah Simo dengan obor yang menyala-nyala di tangan mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan sikap tak bersahabat. Api berkobar menggila oleh angin senja. Secepat kilat Si Jago Merah menyambar batang-batang padi menguning di hampir separo bagian sawah milik Mbah Simo.  “ Biar tahu rasa dia. Seenaknya saja memonopoli air. Dia pikir hanya sawahnya saja yang butuh air!”, kutuk salah seorang dari mereka.
“Mentang-mentang orang kaya, suka semena-mena!!”, kutuk yang lainnya.
“Dasar pengecut. Dimana Simo?. Kalau berani suruh dia lawan orang satu kampung!!” suara lain menyahut geram. Mata Giman menyapu kerumunaan orang-orang. Ia mengenali sosok-sosok tubuh itu. Mereka adalah para tetangga Giman. Dikun, Parjo, Sarjono, Lukito. Hampir orang satu kampung!. Mereka kalap dan terus mengumpat-umpat. Mereka melemparkan obor dengan membabi buta ke tumpukan batang padi kering di tepi sawah. Kembali api berkobar semakin besar, melahap habis padi-padi yang hampir panen.  “Tunggu!. Jangan…!. Jangan sawahku!”, reflek Giman berlari mendekat tidak dapat mencegah merambatnya api dari obor yang terlempar. Api menjalar merenggut satu per satu batang padi di sawah Giman.
“Oalah, Gusti!. Kumohon matikan apinya. Itu sawahku..!!!”. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengar. Riuh redam umpatan orang-orang itu menelan teriakan Giman. Ia terduduk lesu. Ia ingin menangis seperti bayi, jika tidak teringat akan tanggung jawabnya sebagai
kepala keluarga yang harus tegar menghadapi apapun.

0 komentar to “KEKERINGAN”

Posting Komentar