CHAPTER 7:
JANGAN PERGI, OCIT!
JANGAN PERGI, OCIT!
Sekarang Angga berubah. Setiap pulang sekolah, dia tidak lagi ngeloyor pergi atau mendekam di kamarnya. Yang dicarinya pertama-tama adalah Ocit.
Dan ia selalu bertanya, "Cit, mau Angga masakin apa?"
Walaupun Mama sudah selesai masak.
Atau, "Cit, mau nonton nggak? Di TO Plaza Senayan ada film bagus, lho?"
Dan alhasil, Ocit akan menolak dengan rupa heran. Kok Si Angga jadi baik? Baiiiik banget! Malah, cowok kurus itu tidak pernah lagi meledeknya. Dan tiap kali Ocit mau pergi latihan, Angga nawarin buat ngantar. Padahal dulu angga selalu ngomong:
"Ah, gengsi! Entar dikira pacar kamu lagi! Bikin pasaran sepi saja!"
Dan ia selalu bertanya, "Cit, mau Angga masakin apa?"
Walaupun Mama sudah selesai masak.
Atau, "Cit, mau nonton nggak? Di TO Plaza Senayan ada film bagus, lho?"
Dan alhasil, Ocit akan menolak dengan rupa heran. Kok Si Angga jadi baik? Baiiiik banget! Malah, cowok kurus itu tidak pernah lagi meledeknya. Dan tiap kali Ocit mau pergi latihan, Angga nawarin buat ngantar. Padahal dulu angga selalu ngomong:
"Ah, gengsi! Entar dikira pacar kamu lagi! Bikin pasaran sepi saja!"
***
Ocit mengunci kopernya dengan wajah masih cemberut. Si Angga keterlaluan banget, sudah tahu Ocit berangkat hari ini, eh anak itu malah menghilang sejak pagi.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Ocit mencium pipi Mama dan Papa dengan mata berkaca-kaca.
Mama memeluknya. "Baik-baik ya, di sana," pesannya.
Ocit menangis. Sedih bukan hanya karena akan pergi, tapi gara-gara Si Angga tidak ada saat keberangkatannya.
"Angga sebel sama Ocit, ya?" tanyanya pada Mama.
Mama tersenyum. "Nggak, kok! Angga sayang sama kamu. Cuma, dia nggak setuju kamu pergi," hibur Mama, mengelus rambut Ocit.
Tiba-tiba Papa menunjuk ke depan. Tampak seorang cowok kurus duduk sendirian di kursi tunggu Keberangkatan Luar Negeri, membelakangi mereka.
Senyum Ocit mengembang. "Itu kan, Angga!" Ia berlari ke sana. "Angga," panggil Ocit.
Angga mendongak kaget. "Eh...," ia tampak salah tingkah.
"Kamu nungguin Ocit, ya?" tanya Ocit, ikut duduk.
"Ah! Nggak!" sangkal Angga cepat. "Tadi kebetulan lewat sini, eh tiba-tiba mau singgah duduk-duduk," bohongnya konyol.
Ocit jadi terharu. Ia tahu Angga berbohong. Jarak rumah ke bandara hampir dua jam, masa sih kebetulan lewat?
"Kamu sudah mau pergi, ya?"
Ocit mengangguk. Hatinya ikut sedih melihat wajah murung itu.
Angga menunduk, memain-mainkan kunci motornya.
"Nanti Ocit suratin via email, ya?"
Angga mengangguk pelan. "Jangan lupa telepon, ya?" tambahnya. "Di sana jangan keluyuran. Jangan sembarangan bergaul, milih teman yang baik. Jangan pacaran sama bule. Jangan suka nangis lagi. Jangan terlambat makan, jangan...."
"Iya." Ocit mengangguk, memotong pesan Angga yang banyak.
"Tapi," Angga menatap Ocit khawatir, "kalau kamu disakitin orang, siapa yang ngebela kamu? Kalau nggak ada makanan, terus kamu lapar, siapa yang masakin? Kan, kamu nggak bisa masak. Kalau kamu sakit, siapa yang...?"
"Ocit pasti akan baik-baik saja," potong Ocit terharu. Ia menghambur, memeluk Angga erat. Tangisnya tumpah.
"Kalau kamu sedih di sana, pulang ya, Cit?"
Ocit mengangguk sambil menyeka airmatanya. Dilepaskannya pelukannya. Kemudian diciuminya pipi Angga. "Ocit sayang kamu," katanya.
Angga mengangguk. "Angga juga."
Mereka berpelukan lagi. ©
Di Bandara Soekarno-Hatta, Ocit mencium pipi Mama dan Papa dengan mata berkaca-kaca.
Mama memeluknya. "Baik-baik ya, di sana," pesannya.
Ocit menangis. Sedih bukan hanya karena akan pergi, tapi gara-gara Si Angga tidak ada saat keberangkatannya.
"Angga sebel sama Ocit, ya?" tanyanya pada Mama.
Mama tersenyum. "Nggak, kok! Angga sayang sama kamu. Cuma, dia nggak setuju kamu pergi," hibur Mama, mengelus rambut Ocit.
Tiba-tiba Papa menunjuk ke depan. Tampak seorang cowok kurus duduk sendirian di kursi tunggu Keberangkatan Luar Negeri, membelakangi mereka.
Senyum Ocit mengembang. "Itu kan, Angga!" Ia berlari ke sana. "Angga," panggil Ocit.
Angga mendongak kaget. "Eh...," ia tampak salah tingkah.
"Kamu nungguin Ocit, ya?" tanya Ocit, ikut duduk.
"Ah! Nggak!" sangkal Angga cepat. "Tadi kebetulan lewat sini, eh tiba-tiba mau singgah duduk-duduk," bohongnya konyol.
Ocit jadi terharu. Ia tahu Angga berbohong. Jarak rumah ke bandara hampir dua jam, masa sih kebetulan lewat?
"Kamu sudah mau pergi, ya?"
Ocit mengangguk. Hatinya ikut sedih melihat wajah murung itu.
Angga menunduk, memain-mainkan kunci motornya.
"Nanti Ocit suratin via email, ya?"
Angga mengangguk pelan. "Jangan lupa telepon, ya?" tambahnya. "Di sana jangan keluyuran. Jangan sembarangan bergaul, milih teman yang baik. Jangan pacaran sama bule. Jangan suka nangis lagi. Jangan terlambat makan, jangan...."
"Iya." Ocit mengangguk, memotong pesan Angga yang banyak.
"Tapi," Angga menatap Ocit khawatir, "kalau kamu disakitin orang, siapa yang ngebela kamu? Kalau nggak ada makanan, terus kamu lapar, siapa yang masakin? Kan, kamu nggak bisa masak. Kalau kamu sakit, siapa yang...?"
"Ocit pasti akan baik-baik saja," potong Ocit terharu. Ia menghambur, memeluk Angga erat. Tangisnya tumpah.
"Kalau kamu sedih di sana, pulang ya, Cit?"
Ocit mengangguk sambil menyeka airmatanya. Dilepaskannya pelukannya. Kemudian diciuminya pipi Angga. "Ocit sayang kamu," katanya.
Angga mengangguk. "Angga juga."
Mereka berpelukan lagi. ©
TAMAT